Merekonstruksi suatu
negara itu menjadi sebuah visioner putra bangsa. Perbedaan ras, suku, agama,
ideologi dan perbedaan lainya seharusnya tidak menjadi sebuah hambatan dalam
upaya rekonstuksi kediaman anak bangsa. Fakta membuktikan bahwasanya dalam
rekonstruksi negara di jamrud katulistiwa ini, anak bangsa kita memiliki
ekspekstasi yang begitu gemilang. Begitu hebat putra bangsa dalam hal ini
memiliki sebuah visioner yang bisa memajukan negara seribu pulau ini.
Dalam upaya
merekonstruksi suatu negara, putra bangsa tidak bisa begitu saja melakukan
perubahan dalam hal apapun dalam kediamannya. Putra bangsa setidaknya berlaku
sebagai peran utama dalam negara tersebut bukan sebagai figuran. Figuran hanya
mampu memberikan tekanan dan tuntutan yang mana peran utma yang memiliki
kekuatan yang lebih optimal dalam pengembangan dan membawa kearah mana negara
ini akan dibawa. Untuk menjadi seorang pemeran utama dalam sebuah negara, para
aktor dalam kehidupan bernegara kita kali ini harus mempunyai sebuah kendaraan
yang bisa mengantarkan sampai gerbang utama peran pertama tersebut.
Sudah tidak asing lagi
dalam hiruk pikuk kehidupan kita ini untuk mengantarkan seseorang menjadi
seorang aktor pemeran utama di negara kita kali ini. Setiap putra bangsa
membuat sebuah kendaraan yang berlandaskan politik. Karena dengan politiklah
sesorang bisa mendapatkan apapun yang diinginkan termasuk menjadi aktor utama
dalam memotorisasi perkembangan dan kemajuan peradaban kehidupan bangsa.
Politik itu merupakan sebuah kendaraan yang mana seseorang mendapatkan sebuah
peran, mempertahankan sebuah peran dan memanipulasi sebuah peran dalam
kehidupannya, baik dalam hal berbangsa dan bernegara.
Politik itu sendiri
terdakang menjadi sebuah bumerang bagi setiap insan dalam kehidupanya. Pada
hakikatnya kita tidak bisa menghindari ataupun meniadakan politik itu sendiri
dalam kehidupan kita baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Semua sektor kehidupan kita memang penuh dengan molekul politik.
Tidak sedikit orang terlalu bernostalgia dengan politik yang akhirnya melupakan
sebuah ekspekstasi awal mereka.
Politik yang mereka
jalani saat ini untuk mendapatkan peran utama dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kali ini mereka memasukan unsur agama untuk menarik simpatisan dan
akhirnya mereka mendapatkan sebuah ekspektasi yang mereka dambakan. Jika kita
kaji dalam kehidupan politik di negara kita, sudah menjadi hal yang tidak tabu
lagi, dimana sekarang agama menjadi trenseter dari kehidupan politik kita saat
ini. Jika kita telaah dalam politik untuk mendapatkan sebuah peran utama dalam
rekonstruksi negara seribu pulau ini, kalangan politisi kali ini menerjunkan
para ulama dalam politik mereka kerana mereka merupakan orang berpengaruh dalam
agama islam. Dimana Indonesia merupakan mayoritas orang islam. Dengan demikian
mudahlah bagi para elitis politisi untuk mendapatkan peran utama tersebut yaitu
dengan cara menaungi para elitis ulama untuk ekspekstasi mereka dapat dicapai,
dengan cara menghegemoni para elitis ulama tersebut agar para pengikut mereka
dapat menjadi pendukung dari elitis politisi tersebut. Para ulama yang terjun
dalam hal perpolitikan saat ini bukanlah para ulama yang benar-benar mensyi’arkan
ajaran agamanya dengan baik melainkan para ulama kita saat ini sudah mulai
terhegemoni untuk terjun dalam dunia perpolitikan karena mereka terhegemoni
dengan propaganda yang dilakukan elitis politisi tersebut dimana gagasan para
ulama tersebut menjadi gagasan yang memacu pada sebuah jabatan untuk menduduki
peran utama di negara ini agar negara ini dapat diislamisasikan oleh para ulama
jika memasuki ranah perpolitikan tersebut.
Memang tidak bisa kita
pungkiri lagi, politik itu halnya oksigen yang selalu kita hirup setiap saat
bahkan kita tidak bisa lepas dari oksigen. Begitu pula dengan politik, tidak
bisa lepas dalam diri seseorang satu menitpun karena setiap denting jarum jam
kita berpolitik. Bagaimana kita bisa menjadi seseorang yang ditaati atau
didengar dan lain sebagainya maka tentunya itu semua menggunakan politik.
Sayangnya politik
Indonesia itu begitu rumit bahkan mendesentralisasikan agama dan hukum kedalam
politik. Hukum yang berlaku saat ini adalah produk dari politik, tidak bisa
dipungkiri lagi memang itu demikian adanya. Sayangnya hukum yang mereka buat
tidaklah berlaku untuk beberapa abad layaknya hukum peninggalan penjajah kita. Semua
hukum yang dibuat sekarang ini dibuat demi kepentingan pribadi saja.
Mendesentralisasikan
agama dalam politik saat ini sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh para
politisi. Memasukan elemen ulama dalam melicinkan jalan mereka mendapatkan
peran utama dalam negara jamrud katulistiwa ini. Begitu asiknya para elit ulama
ini dalam dunia politik, sayangnya mereka malah membuat penistaan agama. Para elit
ulama ini malah korupsi, menyalahgunakan wewenang jabatanya.
Tidak ada salahnya jika
agama dimasukan dalam politik. Yang salahnya adalah ketika mereka
mendesentralisasikan agama tapi terjadi penistaan terhadap agama seperti halnya
penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Ketika mereka mengharumkan dan memajukan
bangsa dengan membawa embel-embel agama maka itulah yang seharusnya
diekspektasikan agama disdesentralisasikan dalam politik.
Meliat para elit ulama
saat ini yang mendukung A sebagai peran utama di negara ini mereka sampai
membuat sebuah fatwa dan lain sebgainya. Jika kita memiliki akal yang sehat maka
semua itu tidaklah perlu ada di negara kita ini. Kita dijamin oleh UUD 1945
bahwasanya setiap warga negara berhak menentukan aspirasi mereka dalam
pemilihan peran utama di negara ini. Sayangnya para elit ulama ini tidak
menghargai hak orang lain dimana seorang elit ulama ini menghegemoni dan
mengharuskan untuk memilih A.
Jika kita ambil contoh,
saya sempaat membaca artikel berita di suatu pemberitaan online dimana ada yang
mengatakan bahwasanya NU tulen itu memilih A untuk menjadi peran utama di
negara kita ini. Ketika ditelaah apakah hal tersebut bertentangan dengan
konstitusi yang ada? Jelas bertentangan. Setiap warga negara itu pada
hakikatnya memiliki hak untuk menentukan pilihan merekan bukan untuk hegemoni
seperti itu karena agama Islam dalam kajian disini itu tidak pernah sama sekali
mengajarkan pola prilaku demikian.t
Tidak ada komentar:
Posting Komentar